Archive for Januari 2015
Minggu, 18 Januari 2015
“Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin Allah mengampunimu? Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nuur [24]: 22)
Suatu hari
Rasulullah saw., sedang bertawaf mengelilingi Ka’bah. Melihat itu, seorang
kafir Quraisy bernama Fadhalah bin Umair menguntitnya dari belakang. Fadhalah
memang sudah lama punya niat busuk. Ia berencana membunuh Rasulullah saw.
Menurutnya, inilah waktu yang paling tepat.
Tatkala
Rasulullah saw., sedang tawaf sendirian, Fadhalah menghunus pedangnya untuk
menikam Rasulullah saw., dari belakang. Namun, Allah memerintahkan Malaikat
Jibril untuk memberi tahu beliau tentang niat jahat Fadhalah.
Saat
Fadhalah pada posisi mendekati Rasulullah saw., tanpa melihat kebelaang, beliau
langsung menanyakan keadaannya, “Apakah engkau Fadhalah?”
Pertanyaan
itu membuat Fadhalah heran. Bagaimana beliau tahu kalau dia ada di belakang beliau? “ Ya, saya
Fadhalah,” jawabnya gegabah.
“Apakah yang
tadi engkau rencanakan dalam hatimu?”
Betapa
terkejutnya Fadhalah. Ternyata Rasulullah saw., mengetahui rencana busuknya. Ia
berkelit, “Tidak ada, ya Rasulullah. Saya tengah berzikir.”
Rasulullah
saw., tersenyum mendengar jawaban Fadhalah. Beliau mengucapkan istighfar lalu
meletakkan telapak tangan beliau di dada Fadhalah sehingga hati hati lelaki itu
menjadi tenteram.
“Sungguh,
ketika nabi mengangkat tangannya dari dadaku, maka tidak ada yang lebih kucinta
di seluruh dunia ini selain Rasulullahsaw.,” kata Fadhalah.
Aisyah ra.,
berkata, “Rasulullah bukanlah seorang yang keji. Beliau pun tidak suka
berkata keji. Beliau bukan orang yang suka berteriak-teriak di pasar. Beliau
tidak membalas kejahatan dengan kejahatan. Sebaliknya, beliau suka memaafkan
dan merelakan.”
(HR. Ahmad)
“Hendaklah
mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin Allah
mengampunimu? Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. An-Nuur
[24]: 22)
[Betapa Rasulullah
Merindukanmu. Abdillah F. Hasan. Quanta.]
Jumat, 16 Januari 2015
Simaklah
kisah berikut.
Suatu
hari Rasulullah saw., sedang duduk bersama sahabat. Ketika melihat ada
seseorang lewat, beliau bertanya, “Bagaimanakah menurut kalian tentang orang itu?”
Sahabat menjawab, “Ya Rasulallah,
dia itu orang mulia, terpandang, keturunan bangsawan. Kalau meminang wanita
pasti diterima, kalau memerintah pasti dituruti.”
Beberapa saat kemudian, ada orang
lain yang lewat. Rasulullah saw., mengajukan pertanyaan yang sama, “Bagaimana
dengan orang itu?”
Sahabat menjawab, “Ya Rasulallah,
dia itu orang miskin. Kalau melamar wanita pasti ditolak, jika memerintah tidak
dituruti, kalau bicara tidak di dengar.”
Mendengar penuturan sahabat
tersebut, Rasulullah saw., memberi jawaban, “Orang Habsy yang kedua itu lebih
baik daripada yang pertama meskipun orang yang pertama memiliki dunia dan
isinya.”
Mengapa orang kedua yang miskin
tersebut lebih baik? Hal itu karena orang kedua jauh lebih bertakwa. Menurut
ulama, takwa adalah menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya dengan
sungguh-sungguh.
Saat menjelang wafat, Rasulullah
saw., berpesan kepada sahabat-sahabat beliau tentang takwa. “Wahai Manusia,
sesungguhnya Tuhanmu satu dan bapakmu satu. Setiap kamu berasal dari Adam,
sedangkan Adam dari tanah. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di
sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Tidak ada
kelebihan orang Arab dan bukan Arab kecuali takwa.”
Begitulah nasihat Rasulullah saw.,
tentang orang yang mulia di sisi Allah.
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi
Allah adalah orang yang paling bertakwa.”
(QS. Al-Hujurat [49]: 13)
*[Betapa Rasulullah
Merindukanmu. Abdillah F. Hasan. Quanta.]
"Tinggalkanlah
sesuatu yang meragukanmu menuju yang tidak menjadikan kamu ragu. Jujur itu
menenteramkan, sedangkan bohong itu dapat membuatmu bimbang.” (HR.
Tirmidzi)
Suatu hari ada seseorang menemui Rasulullah
saw., untuk masuk Islam. Setelah mengucapkan dua kalimat syahadat, lelaki itu
menceritakan keadaannya yang sejak dulu gemar berjudi, mabuk-mabukkan, main
perempuan, dan melakukan dosa-dosa besar lainnya.
“Ya Rasulullah, sebenarnya saya ini suka
berbuat maksiat dan susah untuk meninggalkan kebiasaan itu,” ujarnya memberi
penjelasan.
Mendengar pengakuan itu, Rasulullah saw., tidak
marah. Beliau hanya menasihati untuk berkata jujur. “Kalau begitu, berjanjilah
untuk tidak berkata bohong,” pesan beliau.
Nasihat tersebut sangat gampang. Jadi, lelaki
itu menyanggupi untuk selalu berkata jujur. Tak lama kemudian, ia pulang ke
rumahnya.
Suatu hari ia melihat seorang wanita.
Perilaku buruknya yang suka main ke tempat prostitusi mulai kambuh. Nafsu
jahatnya bergejolak dan mendorongnya berbuat zina. Namun, ia ingat pesan
Rasulullah saw.
“Jika aku lakukan perbuatan ini, bagaimana
jika nanti Rasulullah bertanya? Apakah aku sanggup berbohong kepadanya?” bisik
hatinya. Ia pun mengurungkan niatnya.
Di lain waktu, ia ingin menenggak minuman
keras. Ia ingat kebiasaannya tempo dulu yang suka mabuk-mabukkan bersama
kawan-kawannya. Namun, lagi-lagi hatinya memberi nasihat, ”Bagaimana jika
Rasulullah bertanya tentang perbuatanku ini?”
Setiap kali akan berbuat maksiat, lelaki itu
selalu ingat nasihat Rasulullah saw. Akhirnya, ia menjadi orang saleh. Ia
memulai hidup baru dengan berhijrah dari keburukan menuju kemuliaan. Jujur.
Itulah kuncinya!
*[Betapa Rasulullah
Merindukanmu. Abdillah F. Hasan. Quanta.]
Rasulullah
saw., adalah pribadi yang berhati halus sehingga mudah meneteskan air mata.
Beliau pernah menangis cukup lama. Tatkala Bilal mengumandangkan adzan,
tangisan beliau belum juga mereda. Apa sebabnya?
Pada suatu malam, beliau meminta Aisyah ra.,
untuk meninggalkan beliau sendirian agar bisa bermunajat kepada Allah. Beliau
bangkit dari atas pembaringan untuk bersuci, lalu mengerjakan shalat. Dalam
munajat tersebut beliau terus-menerus mengangis sampai basahlah bagian depan
pakaian beliau, demikian pula jenggot beliau, bahkan tanah (tempat beliau
shalat) pun menjadi basah.
Seperti biasa, saat menjelang subuh, Bilal
pergi ke masjid dan mengumandangkan adzan. Setelah selesai adzan ia tidak
mendapati Rasulullah saw., seperti biasanya. Ia bergegas menuju rumah
Rasulullah saw. Di sana ia mendapati manusia mulia itu menangis.
Melihat keanehan itu Bilal bertanya, “Wahai
Rasulullah, mengapa engkau menangis? Bukankah Allah telah mengampuni dosa
engkau yang telah lalu dan yang akan datang?”
Rasulullah saw., menjawab, “Apakah aku tidak
ingin menjadi hamba yang pandai bersyukur? Sesungguhnya tadi malam telah turun
sebuah ayat kepadaku. Sesungguhnya celaka orang yang tidak membacanya dan tidak
merenungi kandungannya. Ayat itu (yang artinya) adalah, Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat
tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (QS. Ali Imran [3]: 190).”
Meski selalu mendapat rahmat dan ampunan-Nya,
Rasulullah saw., tetap ingat pada Allah serta selalu menjalankan perintah dan
menjauhi larangan-Nya. Hal tersebut beliau lakukan sebagai bentuk syukur
kepada-Nya. Bagi beliau, syukur bukan berarti menikmati hidup, melainkan
mengabdikan diri kepada Sang Pemberi hidup.
[Betapa Rasulullah
Merindukanmu. Abdillah F. Hasan. Quanta.]